| ]



Gaya Pemimpin Krisis



Di masa krisis berat seperti ini, para pemimpin dunia kelihatannya melakukan komunikasi langsung dengan rakyatnya melebihi dari yang sudah-sudah. Presiden Obama dan Perdana Menteri Wen Jiabao dua contoh yang amat menarik.

Ketika Senat Amerika Serikat memperdebatkan setuju atau tidak atas langkah-langkah presiden baru itu, Obama berdialog langsung dengan rakyat di beberapa kota yang paling terkena krisis. Kemarin lusa, pemimpin dari negara komunis yang biasanya sangat tertutup pun, chatting langsung dengan jutaan netter-nya selama dua jam lebih.

Ketika para wakil rakyat kelihatan keberatan untuk menyetujui usaha mengatasi krisis, Obama seakan membuat sidang tandingan. Meski sudah menjadi presiden, pidato Obama saat itu persis ketika masih jadi calon presiden: santai sekali seperti tidak ada beban. Bahkan, di sela-sela pidato, sesekali dia mengambil minum sendiri. Bukan dari gelas yang sudah tersedia di atas podium, tapi dari botol yang dia taruh di lantai dekat podium. Seorang presiden AS melakukan itu.

Tanpa moderator dia juga langsung melakukan tanya jawab dengan yang hadir di gedung itu. Ketika ada seorang wanita yang mengeluhkan nasibnya di saat krisis ini, dia datangi wanita itu. Dia cium, dia bisikkan kata-kata yang memberi harapan. Sama sekali tidak menggambarkan prosedur, tata cara, dan security seorang presiden.

Cara demikian dia perlukan karena dia harus bersaing langsung dengan wakil rakyat. Sidang di senat (wakil rakyat) yang menegangkan itu disiarkan langsung oleh jaringan TV. Dialog Obama dengan rakyat juga disiarkan langsung oleh TV. Stasiun TV pun kesulitan mau memilih menyiarkan yang mana: dua-duanya menarik. Maka banyak stasiun TV yang membagi dua layarnya: sebelah kiri siaran langsung sidang wakil rakyat, sebelah kanan siaran langsung "sidang" Obama dengan rakyat. Seakan-akan Obama ingin menunjukkan siapa yang benar-benar mewakili hati nurani rakyat: dia atau wakil rakyat. Pemirsa pun bisa membandingkan secara langsung mana yang lebih memenuhi harapan rakyat: wakil mereka atau Obama.

Yang menarik, di gedung senat itu juga bisa diikuti siaran langsung apa saja yang dilakukan Obama di depan rakyatnya. Sebaliknya, informasi apa saja yang sedang dibicarakan di gedung senat juga bisa diikuti para staf Obama di gedung pertemuan di Florida itu.

Ketika Obama berjalan menjauhi podium untuk mendekat ke penanya yang letaknya jauh di tribun kiri, seseorang naik panggung dan meletakkan selembar kertas di atas podium. Saya sudah menyangka informasi apa yang diinterupsikan ke podium itu. Tapi, Obama tidak kelihatan terlalu peduli, atau tidak kelihatan terlalu ingin mengetahui informasi apa yang begitu penting.

Setelah kembali ke podium, Obama juga tidak langsung membaca isi kertas itu. Baru beberapa saat kemudian, dia mengambil kertas tersebut dan mengumumkan isinya kepada yang hadir di situ: Senat telah memberikan persetujuannya. Memang, penonton TV sudah tahu bahwa di layar sebelah kiri telah disiarkan bahwa Senat telah selesai berdebat dan menyetujui rencana Obama meski dengan hanya selisih satu suara.

Di masa krisis, terobosan komunikasi seperti itu sangat diperlukan. Dan, Obama memiliki kemampuan dan keterbukaan yang luar biasa. Inilah yang juga saya harapkan di masa kepresidenan Indonesia lima tahun ke depan. Tidak perlu seorang presiden mendapat dukungan mayoritas di DPR. Jangan takut dijegal oleh DPR. Sepanjang dia memang dipilih oleh rakyat dan kemenangannya cukup signifikan, mengapa harus takut pada DPR.

Kalau saja sampai terjadi DPR menghambat program presiden, cara-cara seperti yang dilakukan Obama bisa ditiru. Rakyat akan ikut menentukan mana yang lebih memenuhi harapan rakyat: Presiden atau wakil rakyat. Dengan demikian, akan terjadi juga proses pendewasaan DPR. Termasuk dalam proses ini adalah dikuranginya peran fraksi, sehingga anggota DPR sedikit lebih terbebas dari belenggu fraksi.

Lain dengan yang dilakukan Perdana Menteri Tiongkok Wen Jiabao. Semestinya Wen memerintah dengan tangan besi. Apalagi, di zaman krisis seperti ini. Toh, Wen terus berdialog langsung dengan rakyat. Dia sangat rajin turun ke daerah-daerah yang paling menderita. Bahkan, dua hari lalu dia chatting dengan pengguna internet. Sebuah dialog langsung yang mestinya hanya bisa dilakukan oleh negara liberal.

Di Tiongkok pengguna internet memang luar biasa besarnya: 300 juta. Penguasa tahu kekuatan komunikasi yang terkandung di dalamnya. Maka sangat tepat kalau Wen memanfaatkannya. Kenapa Wen melakukan itu?

Dalam masa krisis, peran pemimpin memang sangat menentukan. Kalau dia terus bicara mengenai kesulitan-kesulitan krisis yang harus dihadapi, bisa-bisa rakyatnya akan takut, lemas, dan kehilangan semangat. Yang lebih membahayakan lagi kalau rakyatnya kehilangan sikap optimistis dan kehilangan kepercayaan diri.

Sebaliknya, kalau pemimpin terus menutupi kesulitan itu dan hanya memompa semangat melalui pidato, bisa-bisa rakyat terjerumus. Maka di masa seperti ini pemimpin memang harus pandai-pandai membuat keseimbangan antara menunjukkan realitas yang sulit dan memberikan optimisme melalui langkah konkret.

"Terus terang, baru sekali ini saya chatting di internet. Sesuatu yang pertama selalu saja membuat grogi," ujar Wen dengan nada gurau, tapi sangat mengena di hati rakyat biasa. "Baik sekali menggunakan cara ini untuk tukar pikiran secara langsung dengan rakyat," tambahnya.

"Rakyat telah memberi saya kekuasaan. Saya tidak tahu bagaimana membalasnya yang terbaik. Karena itu, saya habis-habisan melayani rakyat," katanya menjawab pertanyaan para netter. Ada 30 pertanyaan yang sempat dikomentari oleh Wen Jiabao di situ. Mulai yang berat-berat sampai yang ringan-ringan dan yang sangat pribadi. Misalnya: Berapa hari dalam setahun berada di rumah? Berapa gaji? Kalau almarhum Perdana Menteri Zhu Enlai terkenal sebagai peminum, berapa banyak Anda mampu minum (alkohol)? Dalam waktu senggang apakah Anda chatting di internet atau main playgame? Berapa jam tidur sehari? Sampai ke pertanyaan serius: apakah Anda merasa harga rumah di perkotaan masih terlalu tinggi?

Jawaban-jawaban Wen, terus bermain di antara menceritakan realitas yang sulit-sulit dan harapan-harapan yang optimistis. Misalnya, kata-katanya yang lucu "sukses tidaknya mendorong orang untuk belanja itu bukan bagaimana pemerintah mengimbau orang agar belanja, tapi yang lebih penting adalah ada atau tidak ada uang di saku mereka."

Karena itu, pemerintah menganggarkan dana sampai 500 miliar dolar dalam empat tahun ini. Hasilnya pun sudah bisa dia ceritakan. "Sepuluh hari pertama Februari, penggunaan listrik sudah naik 13,2 persen," katanya. Dan, kalau dilihat sepuluh hari kedua, kenaikannya sudah 15 persen. Tingkat konsumsi juga sudah mulai naik. "Semua data ini akan terus kita ikuti dengan cermat. Kalau memang masih diperlukan, pemerintah akan menggenjot lagi," katanya.

Jawaban lain bentuknya imbauan. Misalnya, para pengusaha dan bankir harus punya jiwa sosial. Demikian juga para dokter harus memberikan pelayanan terbaik kepada orang yang lagi susah. "Kalau para dokter mengeluh, berikan keluhan itu kepada kami. Jangan sampai keluhan itu dilampiaskan dalam bentuk pelayanan yang kurang baik kepada pasien," katanya.

Wen ingin sekali membangun rasa percaya diri yang kuat bahwa Tiongkok mampu mengatasi krisis ini. "Percaya diri lebih berharga daripada emas atau uang," katanya. Membangun percaya diri juga bagian penting dari mengatasi krisis.


SAYA ke Tarakan minggu lalu dan juga ke Nunukan. Yang tidak saya duga adalah ini: masyarakat lagi ribut (lagi) soal listrik yang mati terus. Di Tarakan ada pertanyaan besar, besar sekali, mengapa tidak mampu mengatasi krisis listrik. Pertanyaan itu besar sekali karena PLN di Tarakan sudah dibuat berbeda dengan PLN di daerah-daerah lain di Indonesia.

Status PLN di Tarakan (juga Batam) bukan lagi wilayah, atau cabang, atau pembantu cabang. PLN di Tarakan adalah PLN yang statusnya sudah mandiri. PLN-nya sudah berbentuk perusaan sendiri: PT PLN Tarakan. Di Tarakan PLN-nya sudah punya direktur sendiri, komisaris sendiri, dan organisasi sendiri.

Pertanyaan besarnya: mengapa direksinya tidak bisa membuat keputusan? Mengapa komisarisnya tidak menegur direksi yang tidak membuat keputusan? Atau, kalau direksinya sudah membuat keputusan, mengapa komisarisnya diam?

PLN di Tarakan bukanlah cabang atau wilayah, yang untuk memutuskan masih memerlukan petunjuk, atau arahan, atau sinyal, atau kerdipan, atau bisik-bisik, atau suara-suara gaib, atau apa pun dari atasannya. PLN di Tarakan tidak punya atasan. PLN Tarakan adalah atasan itu sendiri.

Kalau PLN Tarakan tidak bisa dan tidak mampu membuat keputusan, untuk apa PT PLN Tarakan diadakan? Bubarkan saja! Kembalikan saja statusnya sebagai cabang. Atau bahkan tidak perlu ada PLN agar masyarakat atau pemda punya inisiatif sendiri untuk mengatasi kebutuhan listriknya.

Tarakan bukan kota besar yang masyarakatnya tidak mampu mendirikan pembangkit listrik sendiri: asal diberi kesempatan untuk itu. PLN, kalau merasa tidak mampu, sebaiknya menyerah: lempar handuk. Jangan mengira hanya PLN yang bisa memproduksi listrik.

Masalahnya adalah hanya PLN yang diberi wewenang untuk mengatur listrik. Coba pemerintah beri satu contoh wilayah kecil seperti Tarakan untuk mengatasi listrik sendiri. Pasti bisa lebih baik. Apa pun jalannya.

Saya seperti menangis ketika berada di Tarakan minggu lalu. Saya membayangkan pemdanya yang sangat bergairah membangun sampai-sampai ingin membuat Tarakan sebagai Singapura mini. Saya membayangkan pengusahanya yang demikian antusias untuk berinvestasi di Tarakan, padahal banyak tempat lain yang bisa ditanami modal dengan hasil yang lebih baik. Saya membayangkan betapa bangganya orang Tarakan akan kotanya yang berkembang pesat belakangan ini. Semua itu seperti disiram air keras oleh PLN: ludes.

Memang, PLN rugi besar dengan tarif listrik semurah sekarang. Saya tahu itu. Tapi, persoalan pokoknya bukan karena tarifnya murah. Persoalan pokoknya adalah ongkos produksi PLN yang mahal!

Bahwa mengapa PLN memilih pembangkit yang ongkos produksinya mahal, itu bukanlah urusan rakyat. Rakyat tidak tahu itu! Itu urusan PLN sendiri. Rakyat Tarakan pernah membuktikan (8 tahun lalu) mau membayar tarif listrik termahal di Indonesia. Tidak apa-apa. Sampai-sampai waktu itu Tarakan dijadikan contoh nasional bahwa tarif listrik tinggi bisa diterima masyarakat asal pelayanan listriknya baik.

Tapi, ternyata kenaikan itu tidak digunakan sebagai kesempatan untuk mengatasi persoalan PLN secara mendasar. Kenaikan itu hanya bertujuan untuk mengatasi persoalan sementara. Hanya untuk menerima investor hit and run. Karena itu, kali ini, meski wali kota minta-minta ada lagi kenaikan tarif seperti dulu, sebaiknya jangan diterima dulu. Tolak dulu. Harus ada bukti bahwa kenaikan itu nanti untuk mengatasi persoalan yang lebih permanen.

Mengapa dengan kenaikan yang hebat dulu itu PLN tidak mampu mengadakan pembangkit yang ongkosnya murah? Mengapa kesempatan saat itu tidak digunakan untuk menarik investor yang mau membangun pembangkit yang ongkos operasionalnya murah? Mengapa kenaikan tarif saat itu justru hanya untuk menarik investor yang mendatangkan mesin jenis aneh - yang hanya cocok untuk situasi darurat? Bahkan, mengapa kalau ada orang yang mau membangun pembangkit dengan ongkos operasional murah -seperti yang saya lakukan di PLTU Embalut dekat Samarinda- tidak mendapat respons yang memadai?

Karena itu, kalau PLN Tarakan yang sudah berbentuk PT (perseroan terbatas) tidak mampu mengambil keputusan, benar-benar harus dibahas: untuk apa ada PT? Apakah PT PLN Tarakan sebenarnya hanya boneka dari monster PLN saja? (*)


Senin, 09 Februari 2009 , 08:08:00
Mengapa Banyak Koran Baru

DI zaman bikin surat kabar atau majalah tidak perlu izin apa pun seperti sekarang ini, apa sajakah motif seseorang menerbitkan surat kabar atau majalah? Coba kita inventarisasi kemungkinan-kemungkinan motif di baliknya:

1. Idealisme (menegakkan keadilan, kebenaran, membela si lemah, menyuarakan kepentingan umum, menegakkan demokrasi, dan sebagainya).

2. Bisnis (mengharapkan bisa menjadi lembaga bisnis, kecil maupun besar).

3. Politik (sebagai alat membela dan memperjuangkan aliran politik).

4. Agama (untuk menyiarkan ajaran agama).

5. Kepentingan sesaat (ingin dekat penguasa atau ingin jadi penguasa, mulai bupati/wali kota, gubernur, dan seterusnya).

6. Coba-coba.

7. Digoda/’’dihasut’’ orang lain (terutama oleh para mantan wartawan).

8. Menyalurkan hobi.

9. Belum ada pekerjaan lain (umumnya dilakukan oleh anak orang kaya yang baru pulang sekolah dari luar negeri).

10. Ngobyek (untuk mencari penghidupan kecil-kecilan dengan asumsi akan ada saja orang yang takut kepada pers dan karena itu bisa diminta/diperas uangnya. Termasuk di kelompok ini adalah pers sebagai alat untuk mencari proyek).

Mungkin masih ada motif yang lain, namun mungkin hanya gabungan di antara yang 10 itu. Misalnya, gabungan antara idealisme dengan bisnis. Secara idealisme tercapai, secara bisnis juga amat menguntungkan. Atau idealisme dengan pemerasan. Idealisme penerbitnya adalah memberantas korupsi di muka bumi Indonesia, jalan yang ditempuh adalah memeras para koruptor.

Tapi kalau saya amati, sumber terbesar yang menyebabkan munculnya banyak sekali surat kabar atau majalah baru adalah kalangan wartawan. Kira-kira bisa kita kelompokkan seperti ini:

1. Wartawan idealis. Yakni wartawan yang merasa idealismenya tidak tersalurkan di surat kabar tempatnya bekerja. Dia atau mereka merasa policy surat kabar/majalah tempatnya bekerja terlalu komersial yang lebih mementingkan aspek bisnis. Atau pemilik surat kabar/majalah sering memanfaatkan korannya untuk mencari obyekan bisnis atau jabatan politik untuk keuntungan pribadi sang pemilik. Wartawan jenis ini, setelah merasa mendapat nama kemudian memilih keluar, menjadi investor atau mencari investor untuk mendirikan media baru.

2.Wartawan yang merasa sudah pintar. Wartawan jenis ini merasa dirinya sudah sangat pintar melebihi si pemilik media tempatnya bekerja, atau melebihi pemimpin redaksinya. Dia merasa dirinya hebat sekali. Lalu merasa sudah semestinya menjadi pemimpin. Mereka lalu mencari-cari investor.

3. Wartawan yang tidak puas karena sistem kerja dan sistem penggajian di tempat asalnya. Di antara mereka ada yang memang benar-benar diperlakukan tidak adil oleh perusahaannya. Tapi, ada juga yang sebenarnya dia sendiri saja yang merasa diperlakukan tidak adil. Tipe wartawan seperti ini umumnya berusaha pindah dulu ke media lain, tapi tidak jarang juga (karena media lain sudah penuh), langsung mencari investor untuk membuat media baru.

4. Wartawan ingin maju. Yakni wartawan yang benar-benar memang ingin maju, dan merasa dirinya mampu. Lalu, setelah mendapat pengalaman cukup di tempatnya bekerja, dia mencoba membuat media sendiri.

5. Wartawan yang pensiun. Setelah lama jadi wartawan, lalu pensiun, maka rasa rindunya akan dunia pers tidak akan tertanggungkan. Mereka ini juga merasa sangat mampu dan terutama merasa sangat berpengalaman. Mereka ini umumnya juga lantas mencari investor dengan mengandalkan pengalamannya itu.

6. Wartawan yang di-PHK. Mereka ini jumlahnya tidak sedikit dan keinginannya untuk tetap bekerja di pers sangat besar. Maka mereka pun akan cari investor untuk membuat media sendiri.

7. Calon wartawan yang sudah magang di media dan kemudian tidak bisa bekerja di media itu. Lalu mencari investor juga.

8. Wartawan percobaan, yakni mereka yang mula-mula direkrut oleh sebuah media, tapi kemudian tidak lulus masa percobaan terakhir. Mereka ini telanjur merasa jadi wartawan dan merasa menjadi orang pers. Maka mereka ini juga bisa cari investor.

Jadi, kalau selama ini banyak orang pers yang ngedumel mengapa begitu banyak orang yang tidak tahu pers tiba-tiba masuk ke bisnis pers, sebenarnya banyak di antara mereka sendiri mulanya tidak ada minat masuk ke pers sama sekali. Mereka umumnya ’’hanya’’ sumber berita yang pernah dikenal si wartawan, kemudian diincar untuk jadi investor.

Tentu si investor sendiri sebenarnya lebih banyak menjadi ’’korban’’ rayuan atau ’’hasutan’’ para wartawan di atas. Tentu ada juga beberapa di antaranya yang akhirnya menikmati sebutan sebagai orang pers atau raja pers. Bahkan, anak istri mereka yang semula tidak ada yang tahu apa itu pers, tiba-tiba menjadi pemimpin umum atau pemimpin redaksi.

Mengapa banyak investor yang berhasil dirayu atau ’’dihasut’’ oleh para wartawan atau mantan wartawan?

1. Umumnya mereka tidak tahu sama sekali realitas dunia pers. Mereka umumnya hanya pembaca koran yang di dalam benaknya sering mengagumi orang koran.

2. Mereka punya uang atau punya aset (kantor/gedung/mesin/komputer) yang bisa dimanfaatkan sehingga kelihatannya hanya memanfaatkan aset yang sudah ada.

3. Mereka umumnya merasa punya network yang akan bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan koran/majalahnya.

4. Mereka umumnya mengerti manajemen sehingga merasa kemampuan manajemennya akan cukup untuk mengatasi manajemen koran/majalah.

5. Mereka umumnya hanya merasa lemah di redaksional dan kini bagian yang lemah itu sudah diisi oleh orang yang merayunya.

6. Mereka tergiur oleh rayuan/”hasutan” dari para wartawan itu karena biasanya si wartawan membawa alasan yang sangat menarik.

Alasan apa saja yang dipakai wartawan untuk merayu investor?

1. Koran/majalah adalah bisnis yang menarik, bisa untung secara cepat, bisa membuat investor terkenal, gengsi investor naik dan akan bisa dekat dengan orang-orang penting (tidak jarang si investor kemudian memang minta tolong si wartawan untuk mendekati pihak-pihak yang diincar).

2. Akan mudah mencari pelanggan karena isinya akan dibuat sedemikian rupa menariknya (umumnya disertai dengan penilaian si wartawan akan jeleknya mutu jurnalistik koran-koran yang ada, terutama di tempatnya bekerja dulu).

3. Akan mudah mencari iklan, karena iklan ini sangat menggiurkan. Lalu menyebut berapa penghasilan iklan koran seperti Kompas atau Jawa Pos. Si investor pun mulai mabuk dan membayangkan akan bisa mendapatkan sebagian dari kue besar itu.
4. Perayu berjanji kerja sekeras-kerasnya. Mereka ini ada yang dulu memang pekerja keras, tapi ada juga yang dulu pun tidak pernah mau bekerja keras.

5. Kalau si wartawan dulu bekerja di koran yang maju, dia akan mengatakan kepada investor bahwa dialah yang membuat koran itu dulu maju.

6. Kalau si wartawan dari koran yang tidak maju, dia akan mengatakan kepada investor bahwa manajemennya tidak bagus dan selalu menolak ide-ide yang diperjuangkannya.

7. Biasanya juga menawarkan tim yang sudah jadi dan dipromosikan sebagai tim yang kuat dan andal. Kalau tim itu dibentuk dari koran yang akan disaingi, akan disebutkanlah bahwa ’’kita’’ akan gampang merebut pasarnya karena tim andalannya sudah hilang.

Banyaknya koran/majalah baru dalam kurun sembilan tahun terakhir ini adalah satu kenyataan yang sah. Namun, banyaknya koran/majalah baru tersebut juga akan membuat semakin banyak eks-wartawan. Artinya, juga akan semakin banyak memproduksi para perayu ulung. Dan akhirnya masih akan banyak sekali investor yang diincar. Memang banyak sekali investor yang sudah mulai ’’insaf’’, tapi masih akan lebih banyak lagi investor yang menyediakan diri untuk ’’tergoda’’.

Sebagai ketua umum SPS atau Serikat Penerbit Surat Kabar (Majalah) yang baru saja terpilih, saya lagi mikir-mikir: apakah apa pun motif surat kabar/majalah itu didirikan semua harus dibina? Mulai kongres yang akan datang, pemilik suara di kongres tidak lagi hanya pengurus cabang-cabang SPS. Pemilik suara di kongres adalah para penerbit itu semua! Dengan demikian, kongres SPS yang akan datang akan sangat seru! Pertengahan tahun ini SPS mengadakan jambore atau konvensi penerbit. Kalau seluruh penerbit, apa pun motifnya, hadir di jambore itu, begitu pulalah gambarannya Kongres SPS yang akan datang! (Dahlan Iskan)




Tionghoa: Dewasa dalam 10 Tahun

ADA perkembangan yang sangat menarik dari banyaknya rombongan kesenian yang datang ke Indonesia setiap tahun (termasuk di seputar hari raya Imlek sampai Cap Go Meh tahun ini). Ada perubahan pandangan yang sangat besar dari kalangan Tionghoa sendiri atas kedatangan mereka itu. Pandangan apa yang berubah antara kedatangan mereka 10 tahun lalu dan sekarang ini?

Saya mencatat dengan teliti sudah terjadi perubahan persepsi yang luar biasa, termasuk di kalangan masyarakat Tionghoa sendiri. Juga di mata yin ni pen di ren. Sampai 9-8-7 tahun lalu, kedatangan rombongan kesenian dari Tiongkok itu masih selalu dianggap hebat, bahkan setengah ajaib. Tariannya selalu dipuja sebagai liao bu qi.

Kostum dan penarinya selalu dinilai hen piao liang! Dan akrobatnya hen lihai! Pujian di tahun-tahun pertama reformasi itu tidak salah, terutama barangkali karena sudah puluhan tahun tidak melihat kesenian yang demikian –lantaran dilarang selama lebih 30 tahun. Begitu seringnya kedatangan rombongan kesenian itu dan begitu dipujanya di sini, sampai-sampai ada sebagian golongan Tionghoa sendiri mengkhawatirkan: apakah ini baik?

Terutama untuk pengembangan jatidiri Tionghoa Indonesia? Untunglah ada demokrasi. Pertanyaan seperti itu hanya berkembang sebatas sebagai renungan yang ternyata kelak membuahkan hasil yang lebih fundamental. Di zaman demokrasi ini tidak ada lagi orang yang bisa memaksakan kehendak. Kalau saja kekhawatiran seperti itu muncul di zaman pra-demokrasi, buntutnya pasti represif: larang! Jangan diberi izin! Kecam! Dampak dari represi itu bisa panjang, terutama secara psikologis.

Termasuk dalam upaya membangun rasa kebangsaan Indonesia. Ternyata tanpa dilarang, tanpa dihambat, tanpa dikecam, terjadi proses pendewasaan yang luar biasa cepatnya di kalangan masyarakat Tionghoa sendiri. Kini, sepuluh tahun kemudian, setiap ada rombongan kesenian dari Tiongkok, masyarakat Tionghoa sendiri sudah amat kritis: penampilan mereka bukan lagi dipandang dari segi emosional, tapi sudah dinilai dengan penilaian sangat rasional.

Bahkan kian lama kian banyak yang menilai “grup tari kita sendiri sebenarnya lebih baik dari yang datang itu”. Komentar kritis seperti ini tidak pernah saya dengar 10 tahun yang lalu, atau bahkan lima tahun lalu. Semuanya, ketika itu, serba memuji: jelek dipuji, baik dikagumi. Memang di kalangan masyarakat Tionghoa Indonesia juga banyak muncul grup tari yang hebat-hebat.

Kursus-kursus tari, mulai balet sampai tradisional, mulai tari barat sampai tari timur, bermunculan. Memang motifnya banyak yang komersial, tapi pengaruh kebudayaannya tetap besar. Lama-lama kelompok tari dari Indonesia itu (dari Jakarta, Surabaya, Bandung, dan seterusnya) juga mengalami kemajuan yang sangat pesat.

Dorongan orang tua di keluarga Tionghoa agar anak-anaknya les tari sama besarnya dengan dorongan orang tua agar anak mereka les piano atau Matematika. Grup tari seperti Marlupi Dance Group, Senapati, Wijayakusuma yang semuanya dimiliki oleh tokoh Tionghoa, benar-benar liao bu qi. Bahkan prestasinya sampai ke tingkat internasional.

Demikian juga kelompok tari di Jakarta seperti Marlupi Dance Academy, Na Marina, Pelangi, Luzy semua hebat-hebat. Marlupi yang di Surabaya memiliki 14 cabang, lima tahun lalu ekspansi ke Jakarta dan selama lima tahun ini saja sudah membuka 15 cabang di Jakarta.

Wanita yang kini berumur 70 tahun dan selalu mengajak saya bicara dalam bahasa mandarin ini, melahirkan anak-anak yang juga sangat hebat di bidang tari sehingga regenerasi di kelompok Marlupi kelihatannya tidak akan ada masalah –bahkan lebih seru lagi. Kini persaingan mutu tari antara delegasi dari Tiongkok yang sering datang ke Indonesia dengan mutu tari yang dari Indonesia sendiri sudah tidak bisa dibedakan.

Penari Indonesia bisa tampil sebaik atau lebih baik dari penari dari Tiongkok –termasuk dalam tari tradisional Tiongkok sekali pun. Dulu, ada kesan bahwa kostum penari dari Tiongkok masih lebih wah: lebih gemerlap, lebih mahal, lebih variasi dan lebih jreng. Tapi, kini grup-grup tari dari Indoensia juga sudah berani “belanja” kostum. Benar-benar tidak ada bedanya lagi.

Dari kenyataan itu saya menyimpulkan telah terjadi pendewasaan yang luar biasa dalam dua hal: rasionalitas dan kualitas. Kini yang rasional sudah mulai mengalahkan yang emosional. Belum sepenuhnya tapi sudah besar perubahannya itu. Kini kualitas sudah mulai mengalahkan rasa rendah diri. Perkembangan ini mungkin jarang yang mencatatnya, tapi saya memperhatikannya sungguh-sungguh bahkan dari amat dekat.

Kalau saja, 10 tahun lalu yang dilakukan adalah main larang, main kecam dan main represif, barangkali sampai sekarang pun tingkat kedewasaan setinggi itu belum akan tumbuh. Bahkan, mungkin, malah jadi api di dalam sekam.

Kini setiap ada rombongan kesenian yang datang dari Tiongkok, kita menyambutnya dengan lebih wajar sebagai kunjungan persahabatan dan pertukaran kebudayaan dari dua bangsa yang punya hubungan kebudayaan dan hubungan emosional yang sangat erat. Tidak ada lagi kesan yang tidak sejajar. Saya pribadi punya pengalaman traumatis.

Ketika secara resmi pertunjukan kesenian yang berbau Tiongkok masih dilarang pada 1980-an, saya sudah berani menyelenggarakan pertunjukan akrobat dari Wuhan. Lengkap dengan grup musik tradisionalnya yang amat besar. Banyak yang meragukan apakah pentas itu bisa terlaksana. Nyatanya bisa meski harus berurusan dengan amat panjangnya.

Yang juga belum banyak diketahui adalah di bidang pertunjukan Barongsai. Kini Indonesia sudah memiliki 18 orang juri tingkat internasional. Ketika saya menjadi ketua umum barongsai Indonesia pertama kalinya 8 tahun lalu, tidak satu pun kita memiliki juri. Akibatnya setiap pertandingan selalu ricuh. Hubungan antarklub tegang.

Akhirnya kita harus selalu mendatangkan juri dari luar negeri. Kini, kita sudah bisa “ekspor” juri barongsai. Setiap pertandingan besar di luar negeri, juri kita diminta ke sana. Demikian juga kini kita sudah bisa membuat barongsasi sendiri. Padahal dulu kita selalu impor. Kalau tidak dari Tiongkok juga dari Malaysia. Kini, di Jawa Tengah sudah ada dua orang yang mengkhususkan diri membuat barongsasi.

Sebulan rata-rata bisa membuat 25 set: mulai dari kepala sampai sepatunya. Bahkan perajin barongsai kita, sudah mampu membuat kepala barongsai yang beratnya hanya 1,2 kg! Saya masih ingat, delapan tahun lalu, kepala barongsai di Pontianak masih sangat berat: 6 kg. Lama-lama turun menjadi 5 kg, 4 kg dan kini sudah seringan 1,2 kg.

Ini karena perajin sudah bisa menggunakan kulit bambu khusus yang ada di Jawa yang meski disayat amat tipis tapi amat kuat. Tidak lama lagi, pastilah kita bisa ekspor barongsai. Dalam jangka panjang sebaiknya Indonesia juga menciptakan sistem pertandingan internasional yang lebih menarik. Saya sudah lontarkan ini di kalangan intern masyarakat barongsai Indonesia.

Terutama setelah saya tahu bahwa system pertandingan yang sekarang ini ternyata ciptaan Malaysia, salah satu guru barongsai kita. Menurut penilaian kita, sistem yang sekarang sudah sangat atraktif tapi jalannya pertandingan sangat lambat. Penggunaan tonggak yang tinggi-tinggi dan berat itu (berat tonggak tersebut sampai 2 ton), menyulitkan praktik pengaturannya.

Memang menegangkan, tapi setiap peserta memerlukan waktu persiapan yang lama. Setiap grup harus membawa sendiri tonggak mereka. Juga harus menggunakan tonggak sendiri (karena tonggak itulah yang biasa digunakan saat berlatih, sehingga bisa mengurangi tingkat bahayanya). Akibatnya, jarak penampilan satu peserta dengan peserta pertandingan berikutnya perlu waktu sampai hampir 20 menit.

Penonton pun bosan menunggu persiapan yang begitu lama. Saya sendiri belum punya ide harusnya yang bagaimana, tapi saya sudah bisa menyimpulkan bahwa sistem ini tidak bisa membuat pertandingan barongsai banyak ditonton orang. Sungguh tidak terkirakan bahwa masyarakat Tionghoa Indonesia bisa mencapai tahap kedewasaan sehebat ini hanya dalam 10 tahun!(*)

| ]


Sejumlah penyiar radio atau announcer di metropolis memiliki banyak pendengar setia. Tidak jarang, para pendengar itu membuat fans club. Kadang, fans itu memang merepotkan. Bagaimanapun, penggemar itu tumbuh lantaran terpikat mulut sakti para penyiar tersebut.

ALKISAH, tersebutlah sebuah ''negara'' bernama Kerajaan Congti. Itu adalah singkatan dari congor sakti, istilah khas Suroboyoan yang berarti mulut sakti. Yang menjadi rajanya adalah Ivan Arbani. Sedangkan ratunya adalah Meity Piris. Rakyat mereka disebut konco plek. Itu juga sebutan khas Suroboyo yang berarti teman akrab.

Tentu, kerajaan tersebut bukan asli. Itu adalah bentuk keakraban para penggemar Meity dan Ivan, penyiar acara Good Morning Hard Rockers (GMHR), acara di radio Hard Rock FM yang bermarkas di Gedung Graha Pena.

Memang, di tangan (atau di mulut) Meity dan Ivan, acara itu terbilang sukses. Gaya siaran mereka terkesan natural, tidak serius, atau selengean. Namun, gaya tersebut berhasil merebut hati pendengar muda Surabaya. Mulai Senin hingga Jumat, pukul 06.00-10.00, para konco plek, rakyat Kerajaan Congti, selalu mendengarkan siaran Meity dan Ivan.

Sebutan konco plek itu muncul dari ungkapan spontan Ivan pada 2002 saat mereka mulai siaran bersama. Menurut pria kelahiran 14 Februari tersebut, ungkapan itu lahir karena mereka ingin menganggap pendengar sebagai teman baik, sebagai konco plek. ''Kami ingin terlihat lebih akrab aja sama para pendengar itu,'' ujar Pria asli Palembang tersebut.

Meity, saat pertama mendengar istilah konco plek, ternyata merasa kurang sreg. ''Istilah itu kan kampungan banget,'' ungkapnya. Namun, karena respons pendengar cukup baik, istilah tersebut langgeng hingga sekarang, setelah tujuh tahun mereka siaran bareng.

Selain melanggengkan istilah itu, para konco plek ternyata juga membentuk satuan-satuan khusus. Ada Konco Plek Distrik Sidoarjo, distrik Mojokerto, distrik Jombang, hingga distrik Jerman, distrik Sydney (Australia), distrik Miami (AS), sampai distrik Denver (AS).

Menurut Meity, distrik di luar negeri itu diisi orang-orang Surabaya yang bersekolah atau bekerja di luar negeri. ''Mereka masih sering streaming di internet. Kadang mereka memberikan traffic report jalan di luar negeri. Penting nggak sih?'' ungkap Meity lantas terbahak.

Para konco plek itu tak hanya aktif mendengarkan siaran Meity-Ivan. Mereka juga begitu atraktif saat off-air. Beberapa di antara mereka membuat merchandise berupa kaus dan stiker. Tulisannya Konco Plek. Salah satu yang secara sukarela mendesain kaus tersebut adalah Muhammad Mahsun. Dia adalah karyawan swasta berumur 20 tahun.

Mahsun merupakan salah seorang fans fanatik duet penyiar tersebut. Inspirasi membuat kaus konco plek itu, kata dia, muncul dari janji Meity dan Ivan saat siaran. Dua penyiar tersebut mengatakan ingin membuat kaus khusus dari para pendengarnya. ''Tapi ingat, moto mereka kan, 'Kami memberi janji, bukan bukti,','' ujar Mahsun menirukan janji ngaco Meity dan Ivan.

Karena banyak pendengar yang ingin punya kaus itu, Mahsun akhirnya membuat kaus tersebut. Dia bawa karyanya saat Ivan dan Meity siaran. ''Saya datang bareng dua teman saya, Cantika dan Ryo. Mereka membawakan makanan sebagai upeti. Saya bawa kaus,'' ungkapnya lalu tertawa.

Cara lain menunjukkan kekompakan penggemar adalah membuat grup Konco Plek di situs perkawanan Facebook. Grup itu dibuat oleh Sugiarto, 30, salah seorang rakyat Kerajaan Congti.

Ya, Kerajaan Congti merupakan salah satu bentuk persatuan fans Meity dan Ivan yang cukup erat. ''Kami biasanya dipanggil paduka raja dan ratu Congti. Menurut mereka (fans, Red), mulut kami berdua cukup sakti untuk menghibur mereka,'' kata Ivan lantas tersenyum.

Pernah suatu saat, para penggemar merasa Ivan dan Meity ''dijelek-jelekkan'' penyiar radio lain. Eh, ternyata ''rakyat'' mereka langsung menelepon radio tersebut. Kata mereka, kami sebagai laskar Congti tidak terima jika raja dan ratu Congti dihina-hina.

Kejadian itu baru diketahui Ivan dan Meity saat siaran hari berikutnya. Beberapa konco plek mengadu lewat telepon bahwa mereka sudah memarahi penyiar yang ''menghina'' Ivan dan Meity.

Itu adalah salah satu tonggak peristiwa yang membuat sebutan Congti menjadi kian tren di kalangan fans Ivan dan Meity. ''Padahal, istilah tersebut muncul secara spontan,'' timpal Meity.

Begitu banyak konco plek yang tersebar sehingga Meity dan Ivan kadang tak luput dari ulah penggemar fanatik tersebut. Meski begitu, Meity dan Ivan menganggap itu sebagai sebuah konsekuensi ketenaran.

Salah satu contohnya pada 2005. Salah seorang konco plek wanita datang ke tempat siaran. Wanita itu hanya datang untuk memeluk dan mencium Ivan. Kata wanita yang mengaku sebagai finalis Putri Indonesia 2004 tersebut, dirinya sejak lama mengidolakan Ivan. Lebih parah, dia juga menginginkan Ivan menjadi kekasihnya. ''Aku lak yo bingung, se,'' ungkap Ivan sambil garuk-garuk kepala.

Saking takutnya, dia bersembunyi di bawah kolong meja siaran. Dia juga tak berani keluar studio. ''Kami sampai harus minta tolong sekuriti Graha Pena untuk mengusir wanita aneh itu,'' ujar Meity.

Anehnya, wanita tersebut juga menelepon radio lain untuk mencari Ivan Arbani. ''Kami juga tahu setelah ditelepon penyiar radio itu,'' jelas Ivan.

Pengalaman serupa dialami Meity. Dia mengungkapkan, ada salah seorang konco plek yang merasa bahwa Meity adalah pacarnya. Kalau Meity bercerita bahwa dirinya baru saja jalan-jalan dengan pacarnya, penggemar itu ge-er. ''Waktu dia datang sambil membawa bunga ke kantor, sempat ada adegan kejar-kejaran kecil antara saya dengan pria itu,'' kata perempuan keturunan Ambon tersebut.

Namun, itu memang tak seberapa. Sebagian besar konco plek justru memosisikan diri sebagai konco plek alias teman akrab. Ada yang melayat saat ayah Meity meninggal, ada dokter anak yang selalu tak mau dibayar kalau Ivan mengantar anaknya berobat, dan ada yang menaruh Meity di urutan pertama inden mobil saat penyiar itu ingin membeli Honda Jazz.

Kekompakan sesama rakyat Kerajaan Congti itu juga kentara saat salah seorang di antara mereka mengalami kesusahan. Misalnya, November 2008, salah seorang konco plek bernama Antonius Hekso kecelakaan. Pria 30 tahun itu terluka parah.

Fans lain pun spontan memberikan sumbangan melalui siaran GMHR. Terkumpul dana sekitar Rp 2 juta. Setelah itu, kedua penyiar tersebut datang langsung ke rumah Hekso di kawasan Balongbendo, Sidoarjo.

''Saya terharu saat lihat mereka datang ke rumah sambil bawa uang itu,'' ujar Maria Wisrance, istri Hekso, yang juga salah seorang konco plek.

Ivan menyatakan, meski jarang bertemu muka, para konco plek sudah seperti saudara satu sama lain. ''Semua mengalir begitu saja, tanpa ada yang mengorganisasi dan mengaturnya,'' katanya.