| ]




[ Jum'at, 14 November 2008 ]
Dahlan Iskan : Mau Jatuh Cepat-Cepat atau Pelan-Pelan? (1)
Fondasi Memang Rapuh, Bukan Konfiden yang Jatuh

Baru satu hari pulang dari Tiongkok, Dahlan Iskan kemarin sudah berangkat ke Amerika untuk ikut rombongan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menghadiri pertemuan puncak 20 kepala negara di Washington DC. Pertemuan ini untuk mencari solusi mengatasi krisis keuangan global saat ini. Berikut catatannya sebelum berangkat:

---

SETELAH banyak kiat dijalankan di mana-mana dan hasilnya juga masih belum bisa meredakan krisis, para penganut aliran pasar bebas mulai unjuk gigi lagi: seharusnya negara jangan turun tangan. Biarkan pasar terjun bebas. Biarkan banyak bank kolaps. Biarkan banyak perusahaan bangkrut. Biarkan pasar modal mencapai titik terendahnya. Terjun bebas secara cepat lebih baik karena kita bisa segera tahu di mana titik terendahnya. Dari situ baru mulai dipikirkan lagi bagaimana bangun kembali. Daripada jatuh pelan-pelan, lama tapi akhirnya jatuh juga!

Pendapat itu didasarkan kenyataan bahwa meski berbagai negara sudah melakukan bailout dalam jumlah yang belum pernah terjadi dalam sejarah, toh kesulitan tidak juga teratasi. Indeks harga saham masih terus merosot, termasuk setelah Amerika Serikat memilih presiden baru sekali pun. Ini berarti krisis sekarang ini memang benar-benar krisis yang terjadi akibat fondasi ekonomi yang rapuh. Bukan hanya karena rasa konfiden yang jatuh.

Memang banyak negara sudah menginjeksikan uang rakyat ke berbagai lembaga keuangan. AS menggunakan dana USD 700 miliar yang berasal dari pembayar pajak alias rakyat. Dan, karena negara itu sedang mengalami defisit terbesar dalam sejarahnya, pada dasarnya dana itu juga berasal dari pinjaman. Negara sudah meminjam uang begitu besar untuk menyelamatkan lembaga keuangan. Hasilnya belum kelihatan jelas. Bahkan, kini menjalar ke sektor riil. Pabrik mobil di sana sudah pula minta disuntik dana negara. Kalau permintaan ini dipenuhi, bagaimana industri baja yang juga tinggal menunggu giliran saja untuk mengalami hal yang sama? Lalu bagaimana dengan industri kaca? Industri cat? Dan seterusnya.

Dulu, pikiran untuk menginjeksikan uang negara ke lembaga keuangan tersebut didasari pemikiran agar kepanikan masyarakat bisa segera reda. Kepanikan itu dipicu oleh pernyataan bangkrutnya Lehman Brothers, perusahaan keuangan terbesar di dunia. Masyarakat panik karena "Lehman yang begitu raksasa saja bangkrut, bagaimana dengan yang lain?" Ini, kecil-kecilan, mirip dengan yang dialami Indonesia ketika krisis 1997 lalu. Saat itu, secara teori ekonomi (IMF) 16 bank swasta nasional harus ditutup. Jangan diinjeksi. Maka ditutuplah bank-bank itu. Ternyata, "teori" tersebut meleset. Akibat penutupan itu, kepanikan memuncak. Pertanyaan semua orang waktu itu: besok bank yang mana lagi yang ditutup? Lusa yang mana lagi?

Begitulah seterusnya hingga akhirnya toh pemerintah harus memberikan jaminan kepada kalangan perbankan. Jaminan itulah yang kemudian ternyata juga salah: pemilik uang di bank itu ternyata para pemilik bank itu sendiri. Akibatnya, pemerintah harus menginjeksi para penabung yang pada dasarnya pemilik bank itu sendiri.

Pemerintah AS juga berpikiran bangkrutnya Lehman Brothers adalah pelajaran berharga. Kebangkrutan itu ternyata disusul dengan kepanikan dan dampaknya berupa turunnya rasa percaya diri yang luar biasa. Harga saham terus merosot. Kehilangan uang di pasar modal ternyata lebih besar dari nilai yang harus dibayar seandainya Lehman Brothers diinjeksi uang negara.

Memang setelah injeksi diberikan oleh pemerintah, rasa percaya diri mulai pulih. Tapi, rasa percaya diri saja ternyata tidak cukup. Toh, harga saham terus merosot. Perusahaan yang terancam bangkrut terus membesar. Kini mulai dibahas: sampai berapa besar injeksi harus diberikan? Apakah kalau kebijaksanaan injeksi itu diteruskan, adakah dana yang cukup? Apa kriteria yang bisa diinjeksi dan yang tidak? Bahkan, jangan-jangan, semua itu seperti "sumur tanpa dasar". Siapa yang bisa menimbunnya? Maka mulailah dibicarakan perlunya diberlakukan undang-undang darutat. Berarti Amerika memang sangat gawat.

Kalau saja UU darurat itu benar-benar diwujudkan, kita juga belum tahu skenario seperti apa yang akan dilakukan: biarkan terus bebas dengan cepat, atau terjun pelan-pelan tapi akhirnya jatuh juga, atau ada revolusi baru di AS?

Memang segera diadakan pertemuan puncak para kepala negara di Washington minggu ini untuk membicarakan itu. Tapi, dari pengalaman-pengalaman yang lalu, tidak mungkin juga pertemuan dua hari itu bisa mencari solusi, apalagi sampai bisa menentukan roadmap (program nyata yang bisa dijalankan dengan jadwal yang jelas dan ketat). Kawasan Eropa akan menyelamatkan benuanya sendiri. Amerika Utara juga begitu. Bagaimana Asia?

Tiongkok sudah punya program besar. Meski masih digolongkan negara miskin, Tiongkok uangnya banyak. Cadangan devisanya USD 2 triliun. Terbesar di dunia. Indonesia hanya punya USD 50 miliar. Tidak bisa diapa-apakan. Karena itu, Indonesia harus mengandalkan kekuatan sendiri. Tidak bisa berharap sama sekali dari bantuan siapa pun. Termasuk bantuan dari Barat dan Tiongkok. Masing-masing punya kesulitannya sendiri.

Tiongkok bisa mengalami PHK sampai 30 juta orang. Sepertiga pabrik bajanya sudah tutup. Tapi, selama 10 hari saya keliling Changsha, Wuhan, Hangzhou, Shaoxing, dan Tianjin minggu lalu, saya lihat belum ada kepanikan yang nyata. Apalagi, Tiongkok sudah menetapkan bagaimana agar 30 juta orang itu dapat pekerjaan. Caranya: pemerintah akan mengalokasikan dana pembangunan infrastruktur USD 500 miliar. Ini sama dengan empat tahun APBN Indonesia! Itu baru dana daruratnya saja. Belum APBN-nya sendiri.

Kita, sebagaimana dikemukakan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dalam pertemuan dengan pengusaha di Istana, Rabu sore, memang sudah menegaskan untuk tidak akan hanya mengandalkan turun tangannya asing. "Asing tetap kita cari terus, tapi kekuatan dalam negeri sendiri yang harus bangkit," katanya.

Presiden menyebut adanya dana Rp 90 triliun yang sekarang menganggur di bank-bank milik provinsi. "Kita ini ngemis ke mana-mana untuk dapat uang satu-dua triliun. Bagaimana kita sendiri ternyata punya uang Rp 90 triliun yang dinganggurkan," katanya.

Wapres Jusuf Kalla, yang selama presiden melawat ke berbagai negara ditugasi merumuskan dan menjalankan program krisis ini, diminta sudah menyelesaikan semua itu sebelum presiden pulang.

Tentu juga soal suku bunga kita sendiri. Akankah juga harus tidak turun? Sudah sebulan ini, setiap hari ada saja berita, negara mana yang menurunkan suku bunga. Menurunkan suku bunga memang menjadi salah satu senjata untuk menanggulangi akibat krisis global. Karena itu, gerakan menurunkan suku bunga dilakukan hampir semua negara. Kecuali Indonesia, tentunya, dan beberapa negara lagi.

Persentasi penurunannya pun tidak lagi 0,25 persen seperti kebiasaan di masa stabil, tapi ada yang langsung 0,5 persen. Bahkan, ada yang sampai 1,5 persen. Inggris menurunkan suku bunganya dari 4,5 persen langsung menjadi 3 persen. Suku bunga di AS, rata-rata kini tinggal 0,3 persen. Bandingkan dengan masa sebelum krisis yang sampai 2,5 persen.

Indonesia masih bertahan dengan suku bunga 9,5 persen karena, menurut pemerintah, untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah. Kalau suku bunga diturunkan, khawatir rupiah kurang menarik sehingga banyak orang yang mengalihkan uangnya ke dolar AS. Kalau itu sampai terjadi, akan semakin membuat nilai rupiah merosot. Inflasi (harga-harga barang) akan naik pula.

Begitu drastisnya penurunan suku bunga di banyak negara itu, sampai-sampai para ahli kini mulai membayangkan sebuah dunia dengan suku bunga 0 persen. Ini hampir sama artinya dengan dunia tanpa bank.

Jepang pernah membuktikan bagaimana hidup dengan bunga 0 persen selama enam tahun, sejak menjelang 2000. Sejak dua tahun lalu suku bunga di Jepang mulai naik menjadi 1 sampai 1,5 persen. Namun, karena terjadi krisis lagi, bunganya kembali diturunkan menjadi rata-rata tinggal 0,5 persen. Langkah me-0-kan suku bunga waktu itu sebagai cara untuk tetap membuat ekonomi berjalan, sambil menunggu sembuhnya dunia perbankan.

Meski membuat pertumbuhan ekonomi Jepang sangat lambat (hanya 1-2 persen per tahun selama lebih 10 tahun), langkah itu dianggap bisa menyelamatkan ekonomi negara. Terbukti Jepang tidak sampai ambruk. Statusnya sebagai negara terkaya kedua di dunia masih terjaga. Dalam kasus Jepang, pertumbuhan ekonomi 0 persen pun hanya berarti negara itu tetap kaya raya.


[ Sabtu, 18 Oktober 2008 ]
Dahlan Iskan: Definisi Uang yang Kian Panjang
Apakah uang? Menurut orang biasa seperti saya, definisi itu sederhana sekali: uang adalah alat pembayaran untuk membeli barang atau mendapatkan jasa. Titik.

Tapi, di mata orang-orang tertentu, definisi uang seperti itu tidak cukup. Harus ditambah sesuai dengan kepentingan masing-masing:

Bagi orang yang takut miskin, uang adalah juga alat untuk menumpuk kekayaan.

Bagi orang yang takut menjadi rakyat biasa, uang adalah alat untuk membeli jabatan.

Bagi orang yang punya utang, uang adalah alat untuk menunda pembayaran tagihan (lewat cek mundur).

Bagi yang takut neraka, uang adalah alat untuk mencari pahala (bayar zakat fitrah pun sudah tidak perlu lagi dengan beras).

Bagi yang takut masuk surga, uang adalah alat untuk menipu (misalnya dengan cek kosong).

Bagi orang miskin, uang adalah alat untuk memproduksi mimpi...(Dulu, saya pernah bermimpi diberi uang Rp 100 saat berlebaran ke rumah keluarga yang kaya, tapi uang itu direbut oleh kakak saya. Saya langsung menangis bukan hanya dalam mimpi, tapi sampai setelah bangun. Saya begitu ingin mimpi lagi tanpa diganggu kakak saya).

Yang juga penting, uang adalah sesuatu yang bisa hilang. Hanya cara hilangnya yang berbeda-beda dan cara menangisinya yang juga tidak sama.

Dan, dari pengalaman krisis keuangan ini, uang adalah bukan uang. Tepatnya, uang adalah sekadar angka-angka.

Buktinya, banyak sekali orang yang dalam krisis sekarang ini merasa kehilangan uang sampai puluhan miliar, tapi mereka tidak pernah mengalami kesulitan untuk membeli makan, pakaian, keperluan rumah, bepergian ke luar negeri, dan seterusnya. Makannya juga masih di restoran mahal, kalau bepergian masih tidur di hotel bintang lima, masih beli tas LV, dan masih ke Makau.

Menurut saya, orang-orang itu sebenarnya tidak kehilangan uang. Seandainya uang tersebut tidak hilang di mesin derivatif pun, toh tidak akan digunakan untuk membeli apa-apa. Tidak sekarang, bahkan tidak juga sepuluh tahun lagi. Bahkan sampai meninggal pun tidak akan pernah menggunakannya untuk membeli beras. Apakah yang demikian itu masih bisa disebut uang? Meski nilainya sampai puluhan miliar, rasanya nilai uang itu hanya sama dengan uang Rp 100 yang saya (mimpikan) terima dari keluarga kaya saat Lebaran itu: memilikinya hanya di angan-angan dan hilangnya juga di angan-angan.

Yang hilang itu bukan "uang" yang akan dibelikan rumah mewah yang bisa membuatnya lebih bergengsi -karena memang sudah punya rumah seperti itu, atau yang akan dibelikan jas tuxedo yang bisa membuatnya lebih ganteng -karena jasnya sudah berlemari-lemari, atau yang akan dibelikan kalung mutiara yang bisa membuatnya cantik -karena berliannya sudah tak terhingga. Maka, yang hilang itu sebenarnya bukan uang. Itu hanya angka-angka. Seperti saya dulu kehilangan angka-angka dalam rapot SD saya -karena tintanya luntur oleh tetesan air hujan yang bocor melalui genteng yang tidak dilapisi plafon.

Karena itu, orang yang tidak ikut main angka-angka derivatif tidak perlu ikut menangis. Kecuali menangis dalam angan-angan. Bekerjalah seperti biasa, carilah uang, dan kalau sudah dapat, belikan sesuatu yang diperlukan. Lalu, bekerja lagi. Bekerjalah sungguh-sungguh -karena tidak ada orang yang bekerja hanya di angan-angan. (*)



Dahlan Iskan : Mengapa Tidak Langsung Bangkit
Ketika sepak bola Inggris kalah di Piala Dunia tahun lalu, siapa yang harus disalahkan?

''Margaret Thatcher!'' teriak seorang politikus di sana.

Lho, apa hubungan sepak bola dengan wanita yang sudah sangat tua itu? ''Waktu dia menjadi perdana menteri, subsidi susu untuk murid SD dikurangi. Akibatnya, tulang pemain Inggris banyak yang patah. Pemain sepak bola yang ikut Piala Dunia itu masih SD saat Thatcher menjadi perdana menteri," tambahnya.

Lalu, siapa yang harus disalahkan atas terjadinya krisis keuangan di Amerika dan dunia saat ini? ''Al Khawarizmi!" Apa hubungan krisis zaman ini dengan tokoh yang hidup di zaman kuno itu?

Dialah yang menemukan logaritma dan matematika. Gara-gara ilmu matematika itulah, belakangan ini muncul satu jenis produk bank yang disebut derivatif. Tanpa ilmu matematika tidak mungkin ada derivatif (bahasa Mandarinnya...)

Lalu, ada yang bilang bahwa penyebab sebenarnya adalah orang Mesir atau Tiongkok. Orang Mesirlah yang menemukan matematika dengan geometrinya saat mendirikan piramida. Atau, barangkali karena orang Tiongkok menemukan sipoa yang menjadi awal ilmu matematika-aritmatika.

Bahkan, jangan-jangan yang salah adalah Al Jabr karena dialah yang menciptakan angka. Mungkin juga kita bisa menyalahkan Girolamo Cardano yang pada tahun 1500-an menemukan teori probabilitas (ilmu peluang).

Simaklah rumus yang saya sertakan di tulisan ini. Itulah wujudnya kalau ilmu matematika, geometri, aritmatika, statistik, dan probabilitas dimasak menjadi satu. Lalu ditambahi bumbu rakus. Kokinya para banker dan pelaku pasar modal. Maka, jadilah masakan siap saji yang disebut ''model''. Model itu lantas menjadi software. Lalu, dianggap sebagai ilmu kebenaran. Semua pemain derivatif menggunakan ''software model'' derivatif itu untuk membenarkan hitungan bahwa uang yang hari itu nilainya 1 juta, lima tahun atau 10 tahun yang akan datang bisa menjadi, misalnya, 100 miliar.

Seandainya Anda punya uang Rp 1 juta, lalu ditawari untuk ikut derivatif, tentu Anda akan bertanya bagaimana caranya kok uang tersebut bisa tumbuh begitu menggiurkan? Lalu, operator derivatif akan menyodorkan rumus yang ruwet itu. Sanggupkah Anda memahami rumus itu? Yang menjelaskan sendiri bisa jadi tidak bisa benar-benar memahami. Mereka bisa langsung minta bantuan komputer untuk ''memprosesnya'': Rp 1 juta x model + enter. Keluarlah angka Rp 100 miliar di laptop. Masalahnya, semua pilihan model adalah yang asumsinya baik. Tidak pernah diciptakan model yang didasarkan asumsi sebaliknya. Maka, tidak ada Rp 1 juta x model + enter = hilang.

Meski semua pihak kini sudah tahu bahwa penyebab krisis ini adalah derivatif, akan diapakan ''binatang'' itu masih belum ada pembicaraan. Melarangnya sama sekali kelihatannya sulit, mengingat sudah dibuktikan bahwa dengan derivatif hidup ini bisa lebih hidup. Tapi juga sudah dibuktikan bahwa derivatif membuat kekacauan.

Kalau kelak derivatif cukup dibatasi, akan menjadi perdebatan seru pembatasan itu sampai pada derivatif keturunan berapa. Sekarang ini derivatif mungkin sudah sampai 13 keturunan. Nah, apakah akan dibatasi sampai lima keturunan saja? Misalnya, swaps masih diperbolehkan. Tapi, anaknya, CDS (credit default swaps), mungkin sudah tidak boleh. Apalagi cucunya yang bernama credit default option, atau cicitnya yang disebut credit default swaption, atau cicit-cicit berikutnya lagi. Saya kira, sekian keturunan dari derivatif pasti akan dilarang.

Kalau kebangkitan hari pertama pasar modal Senin lalu tidak langsung diikuti oleh kebangkitan lebih lanjut di hari-hari berikutnya, antara lain karena soal yang mendasari krisis itu sendiri belum diselesaikan. Semua memang masih sibuk melakukan PPPK (pertolongan pertama pada kecelakaan). Yang penting pasar modal dan perbankan selamat dulu. Terutama perbankan. Usaha ini kelihatannya berhasil. Namun, untuk bisa memulihkan ke keadaan semula, tentu masih harus menunggu diselesaikannya pengaturan derivatif.

Siapa yang mengatur derivatif itu?

Selama ini tidak ada!

Bisnis yang menyangkut USD 600 triliun ini (bandingkan dengan GDP Amerika yang hanya USD 15 triliun) diatur oleh pelaku derivatif itu sendiri. Mereka membentuk persatuan pelaku derivatif. Namanya Asosiasi Swaps dan Derivatif Internasional. Asosiasi itulah yang mengatur segala sesuatu tentang bisnis ini. Mulai aturannya hingga format-format kontraknya. Tidak ada pemerintah mana pun yang mampu mencampurinya.

Padahal, korban derivatif ini luar biasa banyaknya. Mulai perorangan, perusahaan, hingga lembaga keuangan sendiri. Termasuk yang menjadi berita besar awal tahun ini: Societe General rugi USD 7,2 miliar juga oleh derivatif. Bahkan, beberapa tahun lalu sebuah pemda di Amerika, kabupaten terkenal di California bernama Orange County, juga menyatakan diri bankrut sebagai korban derivatif. Di sana pemda memang diperbolehkan mengeluarkan obligasi untuk pembangunan daerahnya. Tapi, dalam kasus Orange County ini, dana daerah dimainkan di derivatif. Kalau berhasil sih, 30 persen APBD-nya akan datang dari hasil derivatif itu. Tapi, bendaharawan kota itu salah hitung. Lalu, kota itu pun dinyatakan bangkrut.

Siapa yang kira-kira akan ambil inisiatif untuk mengatur semua itu?

Pemerintah AS? Bukan urusannya. Bank Dunia? Bukan bidangnya. Bank sentral masing-masing negara? Juga bukan tugasnya.

Para penemu logaritma, geometri, aritmatika, Al Khawarizmi, Al Jabr, Girolamo Cardano, barangkali, harus bangkit dulu dari kubur mereka untuk merundingkannya. (*)


[ Jum'at, 10 Oktober 2008 ]
Saatnya Indonesia Nyalip di Tikungan
Oleh Dahlan Iskan

Tepat sekali langkah pemerintah Indonesia menghentikan perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia kemarin. Terlambat sedikit, kita bisa lebih kacau. Inilah saatnya kita mendahulukan nasib bangsa sendiri. Kita tahu, perusahaan asing lagi perlu uang untuk menutup lubang mereka yang dalam di negeri masing-masing. Karena itu, mereka perlu uang cepat. Salah satu caranya adalah menjual apa saja yang dimiliki, termasuk yang di Indonesia. Dan, yang paling cepat bisa dijual adalah saham di bursa.

Saking banyaknya pihak yang mau menjual saham itulah yang mengakibatkan harga saham jatuh 10 persen kemarin. Mereka berani menjual murah, menjual rugi, asal bisa segera mendapat uang cash. Sebenarnya sekaranglah saatnya membeli kembali saham Indosat, Telkomsel, atau apa pun, tapi kita belum cukup kaya untuk melakukan itu.

Penutupan sementara bursa itu juga penting untuk mengamankan perusahaan-perusahaan nasional kita. Yakni, perusahaan yang terlibat utang besar di luar negeri yang jaminannya berupa saham. Misalnya, Bumi Resources dan enam perusahaan milik Bakrie Group lainnya. Termasuk kebun sawitnya yang besar. Kalau harga sahamnya terus merosot, nilai jaminan utangnya langsung tidak cukup. Dalam keadaan seperti ini sangat mungkin terjadi hostile take over! Sangat bisa terjadi, tiba-tiba saja tambang batu baranya yang begitu besar disita dan menjadi milik asing. Demikian juga perkebunan sawitnya.

Karena itu, bursa tidak perlu cepat-cepat dibuka kembali. Apalagi, kalau itu hanya karena tekanan asing. Harus dihitung benar untung ruginya bagi kepentingan nasional. Memang Bumi Resources adalah milik Bakrie, tapi batu baranya dari bumi Indonesia (Kaltim). Kita juga berkepentingan mengusahakan Bakrie agar tetap jaya -antara lain agar bisa menuntaskan kasus Lapindo di Sidoarjo. Apalagi, Bakrie pernah jadi contoh perusahaan yang hancur oleh banyaknya utang saat krisis moneter 1997 yang tiba-tiba mampu bangkit menjadi orang terkaya di Indonesia. Jangan sampai kini menjadi korban hostile take over asing akibat tidak mampu membayar utang! Nilai saham Bakrie kini memang tinggal 20 persennya. Sangat mudah bagi asing untuk mengambil secara hostile!

Kini negara yang paling mempertuhankan pasar bebas pun hanya berpikir menyelamatkan negara masing-masing. Apalagi, negara yang masih miskin seperti kita. Saya cukup bangga atas ketegasan dan kecepatan pemerintah mengambil langkah ini. Penduduk kita cukup besar untuk bisa menjadi pasar kita sendiri. Kita masih bisa menanam jagung!

Sampai kemarin memang baru Rusia dan Indonesia yang mengambil langkah menghentikan perdagangan saham. Islandia (Iceland) sudah lebih dulu membuat keputusan mem-peg mata uangnya ke dolar karena terjun bebas. Kemarin sore WIB, Inggris membuat keputusan yang lebih konsepsional daripada Amerika. Delapan bank raksasa direkapitalisasi Rp 700 triliun dengan syarat-syarat tertentu. Misalnya, harus menjaga kelangsungan fungsi utama bank, termasuk memberi pinjaman kepada pengusaha yang bergerak di sektor riil. Di dalamnya termasuk bank-bank kelas dunia, seperti HSBC, RBS, dan Standard Chartered. Inggris yang dulu pelopor swastanisasi, kini di arah sebaliknya.

"Ini jalan keluar yang tujuannya memulihkan kepercayaan, sekaligus memperkukuh sistem perbankan," ujar Perdana Menteri Gordon Brown.

Menurut Brown, dalam mengatasi kesulitan yang begitu serius, jalan keluarnya memang harus komprehensif. Juga harus kreatif dan tidak sekadar dogmatis. Menaikkan suku bunga seperti yang dilakukan Bank Indonesia, menurut saya, termasuk yang hanya dogmatis dan kurang kreatif. Yakni, satu dogma bahwa untuk menahan orang agar tidak ramai-ramai menukarkan uang ke dolar haruslah memberi rangsangan kepada pemegang rupiah. Ya, menaikkan suku bunga tadi. Tapi, dampak yang lain sangat berat. Untung naiknya hanya kecil (25 basis poin).

Kita punya batu bara bermiliar ton dan hasil bumi lain. Ini yang harus diamankan lewat kebijaksanaan nasional. Mestinya, masih lebih baik nasib kita yang memiliki hasil bumi tersebut daripada negara yang hanya punya kertas saham atau commercial paper dengan nilai yang hancur saat ini.

Kita memang tidak punya cadangan saham di mana-mana. Karena itu, jangan pula yang masih kita punya itu hilang. Saatnya nasionalisme dipertahankan. Sambil lihat-lihat perkembangan dunia. Kalau kita pintar, kita bisa menyalip di tikungan!(*)



[ Sabtu, 11 Oktober 2008 ]
Cito! Cepat Selamatkan Dulu Bank!
Oleh Dahlan Iskan

Tujuh negara industri terbesar dunia berkumpul hari ini untuk mencari jalan keluar dari krisis moneter yang gawat ini. Tapi, para ahli sangat pesimistis mereka bisa menemukan jalan itu. Sudah begitu banyak masing-masing pemerintah menciptakan paket penyelamatan. Semuanya tidak bisa meredam kemerosotan pasar modal.

Bagi kita di Indonesia, harapan terbesar adalah jangan sampai unsur-unsur di dalam pemerintah berjalan sendiri-sendiri. Apalagi bertengkar. Kita semua tahu bahwa jumlah ahli ekonomi kita bukan hanya sangat banyak, tapi juga aliran ekonomi mereka berbeda-beda. Mulai dari yang beraliran konservatif sampai yang populis. Belum lagi yang menganut aliran sempalan. Masing-masing punya dasar pemikiran sendiri, merasa benar sendiri, dan saling bersikukuh mempertahankannya.

Dalam suasana krisis seperti ini, satu komando sangat diperlukan. Sampai hari ini, saya cukup bangga karena tidak terjadi perbedaan pendapat di antara elite pemerintah yang sampai mencuat ke media. Memang ada desas-desus tentang siapa yang menginginkan Bank Indonesia harus segera intervensi (untuk menstabilkan rupiah) dan siapa yang menentang. Tapi, tidak menjadi perang di bawah permukaan -apalagi di atasnya. Politisi juga cukup dewasa untuk tidak menjadikan masalah krisis sebagai bahan mencari popularitas. Sebagian mungkin memang karena tidak paham akar persoalannya yang rumit, sebagian karena rakyat juga sudah sangat dewasa. Politisi yang memanfaatkan krisis ini untuk popularitasnya justru akan dicela rakyat.

Saya amati rakyat di semua negara memang sangat kompak untuk membela negara masing-masing, lepas apakah pemerintahnya dari partai yang mereka dukung atau tidak.

***

Hari ini, pemerintah pertama-tama harus kompak dalam menyelamatkan sistem perbankan nasional kita. Nasabah dan rakyat harus ditenangkan dengan policy yang jelas dan tegas. Yang terpenting, antara lain, adalah memberikan penjaminan deposito dan tabungan masyarakat.

Saya percaya penjaminan itu tidak akan berbuntut panjang seperti saat krisis dulu. Sebab, perbankan nasional kita sekarang sudah sangat dewasa. Semua negara melakukan langkah ini meski ahli ekonomi yang menganut aliran konservatif tidak akan setuju. Teoretis, sebenarnya tidak perlu ada rush. Tapi, ketidakpercayaan masyarakat pada sistem keuangan hari-hari ini bisa membuat bank yang lagi bersaing saling menyebarkan isu rush. Yang mula-mula hanya isu bisa terjadi sungguhan. Ini sangat membahayakan sistem perbankan kita.

Kalau sistem perbankan ambruk, ekonomi akan runtuh. Rakyat akan sengsara.

Nomor satukan penyelamatan perbankan nasional kita. Gunakan semua dana penjaminan yang selama ini dikumpulkan oleh bank di rekening khusus penjaminan itu. Maksimumkan upaya ini, mumpung ini hari Sabtu. Umumkan pagi ini juga bahwa semua deposito dan tabungan dijamin pemerintah. Jangan terlambat! Kita lagi bersaing dengan kecepatan beredarnya SMS dan telepon seluler.

***

Ini persoalan dunia yang kompleksnya bukan main. Perusahaan yang terlibat derivatif lagi bertumbangan. Cobalah kita bayangkan perusahaan yang enam bulan lalu membeli minyak dengan harga USD 130 per barel. Tentu, hari ini, perusahaan tersebut belum menerima minyaknya karena dua hal. Pertama, harga itu memang untuk penyerahan minyak enam bulan kemudian. Kedua, tujuan pembeli minyak itu memang bukan untuk memiliki minyak, tapi hanya untuk menjual "hak" atas minyak itu saja. Yang membeli "hak" itu pun hanya ingin menjual lagi dengan harga yang lebih tinggi. Yang sudah dapat harga lebih tinggi itu pun masih ingin menjual lagi ke harga yang lebih tinggi. Begitu seterusnya. Minyak yang mungkin berjumlah 1 juta barel itu seolah-olah sudah menjadi 10 juta barel di pasaran.

Triliunan dolar derivatif yang menyangkut minyak ini akan memakan korban luar biasa besar. Sudah akan mengalahkan nilai kredit macet subprime mortgage yang mengawali krisis ini.

Seminggu yang lalu, harga minyak tinggal 100 dolar per barel. Anda bayangkan berapa besar kerugian perusahaan yang membeli minyak dengan harga 130 dolar itu. Membelinya pasti dengan kredit. Kini, pasti kreditnya macet. Kredit yang macet bukan sebesar harga 1 juta barel, mungkin sampai lebih 10 juta barel. Sebab, minyak tersebut sudah diderivatifkan: future, hedging, option, equity swap, dan seterusnya.

Bahkan, dengan harga minyak kemarin menjadi serendah 80 dolar/barel, tingkat kemacetan pasti kian luas lagi. Maka, kinilah saatnya harga minyak akan menjadi normal sewajarnya lagi, sekitar USD 60 atau 70 dolar per barel. Kenapa harga ini normal? Sebab, biaya produksi minyak itu hanya sekitar 35 dolar per barel. Ditambah macam-macam, termasuk mahalnya investasi, jatuhnya sekitar 50 per barel. Maka, laba 30 persen adalah bisnis yang wajar. Tapi, dengan harga minyak 140 dolar per barel dan dengan biaya produksi yang tetap, bisnis ini bisa mencapai laba 300 persen. Kata "rakus" saya kira kurang kasar. Tentu ada yang murka.

Gambaran seperti itulah yang juga terjadi di bisnis jasa keuangan. Semua pedagang di Pintu Kecil Jakarta atau Kembang Jepun di Surabaya tentu tahu bahwa laba normal bisnis jasa itu sekitar 2,5 persen. Mengapa? Bisnis jasa itu tidak perlu modal besar dan risikonya kecil. Wajar kalau labanya lebih kecil. Yang penting volumenya sangat besar dan perputarannya cepat. Memang sesekali bisnis jasa bisa dapat laba 30 persen, tapi sifatnya harus hanya "sesekali". Misalnya kalau pas lagi ada nasib baik. Satu atau dua hari. Setelah itu akan normal lagi ke laba 2,5 persen. Bahkan, kadang, laba 0,5 persen pun sering dijalani asal cash flow-nya baik.

Tapi, coba perhatikan perusahaan-perusahaan jasa keuangan dalam 10 tahun terakhir ini. Labanya bisa 30 persen. Bahkan bisa 60 persen! Ini juga rakus. Total sedunia, laba jasa keuangan ini menguasai 40 persen dari laba seluruh sektor usaha. Sedang sektor industri kurang dari 20 persen. Padahal, laba sektor industrilah yang seharusnya lebih tinggi. Sunnatullah-nya harus begitu. Sebab, di sektor industrilah orang harus benar-benar bekerja: tanam modal, membeli bahan baku, menjual bahan jadi, mengurus buruh, dan seterusnya. Benar-benar bekerja mengeluarkan keringat. Bagaimana bisa laba industri kalah oleh laba sektor jasa? Tentu ada yang murka.

Dunia secara alamiah akan kembali ke situasi 12 atau 15 tahun yang lalu. Bagi kita, 12 tahun yang lalu tidak terlalu jelek.

Asal sistem perbankan kita diselamatkan lebih dulu! Hari ini juga! Ibarat seorang dokter yang kedatangan pasien gawat, sang dokter akan langsung menulis di resepnya: cito! Bukan main urgennya. Seumpama di apotek ada antrean panjang pun, pemegang resep cito! harus langsung dilayani dulu. (*)


KALAU MINAT BACA LEBIH BANYAK TULISAN ATAU PEMIKIRAN DAHLAN ISKAN, KUNJUNGI SAJA URL BERIKUT INI ( dan masih banyak lagi URL lainnya ) :

http://gunawansutanto.net/?p=91

http://wordpress.com/tag/dahlan-iskan/

http://futuh.wordpress.com/2008/05/09/dahlan-iskan-bos-jawa-pos/

http://dahlaniskan.wordpress.com/2008/09/29/saya-harus-mudik-ke-mana-ya/

| ]





[ Jum'at, 10 Oktober 2008 ]
Tri Setyo Budiman, sang Miliarder dari Warung Bakso
Dulu Dorong Gerobak, Kini Omzet Rp 22 Miliar Per Bulan

Tidak perlu modal besar atau produk mewah untuk menjadi miliarder. Tri Setyo Budiman, alumnus Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB), berhasil memperoleh miliaran rupiah per bulan dari usaha warung bakso.

IBNU YUNIANTO, Jakarta

SOSOKNYA tinggi besar. Suaranya juga besar dan berwibawa, kontras dengan penampilannya yang sederhana. Ketika menemui Jawa Pos di salah satu kedai baksonya, Tri Setyo Budiman hanya mengenakan kaus polo dan celana pendek.

Tidak disangka, pria yang menikmati masa remaja di Batu, Jawa Timur, itu sukses mengeruk fulus dari bisnis yang kerap dipandang sebelah mata: warung bakso. "Bakso memang kadang dilihat sebelah mata, berbeda ketika kita bicara steak atau pizza. Mungkin karena citra warung bakso itu kumuh dan sempit," katanya.

Begitu pula keputusannya yang tidak populer 15 tahun lalu saat terjun sebagai wirausahawan. Padahal, sebagai manajer pemasaran nasional William Russel Grace Company, sebuah perusahaan kemasan makanan asal Amerika Serikat, saat itu dia menikmati gaji Rp 7,5 juta per bulan plus tunjangan rumah dan sebuah mobil dinas.

"Saya merasa potensi dan kemampuan saya tujuh. Tapi, hanya dihargai dua oleh perusahaan. Karena itu, dalam usia 32 tahun, saya ambil pensiun diri, bikin perusahaan sendiri," ujar pria kelahiran Sumenep, Madura, 24 Juli 1961, itu.

Bisnis kuliner dipilih lantaran tak pernah mati. Selama orang masih butuh makan, bisnis rumah makan tetap hidup. Bakso lantas dipilihnya karena bisa dimakan siang maupun malam, seperti juga masakan padang. Apalagi, selama ini bisnis itu menghidupi puluhan juta orang.

"Masalahnya, saya tidak bisa bikin bakso. Karena itu, saya pulang ke Batu, beli resep bakso dan kuah dari salah satu kedai bakso yang terkenal di sana," katanya.

Dengan modal dari sebagian uang pensiun, Tri membuat gerobak bakso. Nahas, karena tidak berpengalaman mengoperasikan, gerobaknya terbakar. Tungku api di bawah ketelnya terlalu dekat dengan dinding gerobak. "Begitu dinyalakan, langsung terbakar, habis," katanya terkekeh.

Tak menyerah, dia membuat satu gerobak lagi. Gerobak itu yang lantas didorong keliling kampung di sekitar rumahnya di Jalan Empang Tiga, Kalibata, Jakarta Selatan. Uniknya, Tri memilih trik promosi yang tidak biasa. Dia berkeliling kampung untuk membagikan seluruh bakso yang dimasaknya hari itu.

"Akhirnya orang sekampung tahu saya jualan bakso, dan baksonya enak. Prinsip saya, sebelum kita kuasai kampung orang, kita kuasai dulu kampung kita," terangnya.

Strategi itu efektif. Tak lama berkeliling, Tri lantas membuka kedai bakso di garasi rumah. Kedai yang diberi nama Ino (nama panggilan anaknya, Platinum) itu pun laris. Dalam waktu tak terlalu lama dia bisa membuka cabang di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Timur. "Begitu satu cabang bisa hidup, cash flow-nya bagus, saya langsung buka di tempat lain. Begitu terus sampai saya masuk ke rest area di jalan tol, mal, dan stand alone (kedai bakso untuk pasar premium)," katanya.

Jumlah cabang yang terus berkembang menimbulkan masalah, terutama pada keseragaman kualitas dan rasa baksonya. Pasalnya, membuat bakso dari 300 kilogram daging tidak semudah ketika hanya membuat bakso dari sekilogram daging. Bila kondisi itu dibiarkan, 200 ribu butir bakso yang dibuatnya setiap hari terancam tidak sama rasanya di tiap kedai.

"Kadang koki arogan, rasa bakso harus seperti keinginannya. Padahal, tidak bisa seperti itu, karena saya bikin bakso itu pakai penelitian. Berapa porsi dagingnya, berapa tepungnya, bagaimana masaknya, berapa lama supaya kenyal. Itu semua pakai penelitian," katanya.

Karena itu, Tri lantas membuat dapur khusus pembuatan bakso dan bumbu masak di rumahnya. Bakso dan bumbu yang sudah setengah jadi didistribusikan ke seluruh cabang, termasuk ke Mal Nagoya di Batam. "Saya buat penelitian lagi. Bumbunya saya bikin jadi pasta dan powder (bubuk). Takarannya juga diseragamkan. Jadi, koki tidak bisa lagi memelintir rasa," katanya.

Dari dapur itu Tri lantas berkreasi membuat item-item masakan lain. Mulai bakso urat, bakso daging sapi, bakso gepeng, hingga bakso campur. Belakangan, sejumlah masakan lain juga dipasarkan di kedainya, mulai gado-gado, soto betawi, sop iga, rawon, nasi goreng seafood, kwetiaw, cap cay, dan fuyunghai.

Dia juga berkreasi membuat masakan western, seperti spaghetti bolognaise, chicken wing, dan french fries. "Total ada 40 masakan yang bumbunya dibuat secara seragam di dapur sentral. Semua kedai harus patuh hanya berjualan yang ada di menu list saya. Jangan sampai ada yang jual kupat sayur misalnya," katanya.

Perlakuan yang sama harus diberikan karena tidak semua kedai dimiliki secara penuh. Sebagian kedai didirikan dengan modal teman-temannya. Ini dilakukan karena pembuatan satu kedai tidak murah. Nilainya bervariasi, antara Rp 400 juta seperti kedai di Cijantung dan Kalibata, Rp 800 juta seperti di Rest Area Km 19 Tol Cipularang, hingga Rp 1,2 miliar seperti di kedai Tebet. "Semua bisa balik modal 2-3 tahun," katanya.

Hingga kini gerai di Rest Area Km 19 paling ramai dan memberi kontribusi terbesar bagi total omzet bakso Ino. Setiap bulan rata-rata 15 ribu pengunjung menikmati bakso di sana. Setiap pengunjung rata-rata membelanjakan Rp 25 ribu.

"Setiap gerai rata-rata mendapatkan Rp 50 juta per hari atau sekitar Rp 1,5 miliar per bulan," ungkapnya. Dengan kata lain, bila dikalikan dengan 15 kedai yang dimiliki, Tri Setyo Budiman bisa memperoleh penghasilan rata-rata Rp 22,5 miliar per bulan.

Salah satu kiat suksesnya adalah pemilihan lokasi. Tri mengaku biasa menongkrongi calon lokasi kedai berhari-hari sebelum memutuskan mendirikannya di sana. "Kalau kita pakai prinsip lima P dalam marketing, di bisnis kuliner itu tiga P pertama place (lokasi), baru product (produk) dan price (harga)," akunya.

Bukan berarti Tri tak sempat bangkrut. Dua kedainya di Cikeas dan Bendungan Hilir bangkrut tak sampai setahun setelah didirikan. Bukan karena mismanajemen, melainkan faktor eksternal. Kenaikan harga BBM membuat kawasan industri di Cikeas bangkrut. Otomatis kedai bakso Ino terkena imbasnya.

"Ada pula kedai bakso di sebuah rumah sakit di Benhil yang tutup karena orang enggan makan di rumah sakit yang dianggap sumber penyakit. Padahal, di kedua tempat itu traffic-nya ramai," katanya.

Tri menegaskan, bila seseorang memutuskan terjun sebagai wirausaha, salah satu syarat untuk survive adalah kesabaran. "Tidak ada sukses yang instan di bisnis. Perlakukan bisnis seperti bayi setiap hari, sehingga sukses hari ini hanya journey (perjalanan), bukan destination (tujuan)," papar alumnus SMAN 3 Malang itu.

Meski kedai baksonya maju luar biasa, Tri mengaku tak berniat mewaralabakan bisnisnya. Dia menilai waralaba akan berdampak buruk dalam jangka panjang, terutama dari segi kualitas produk. Hingga kini Tri juga mengaku kerap menahan dongkol karena satu lokasi yang sudah diincar justru diberikan kepada waralaba asing, seperti kedai kopi Starbucks atau Dunkin Donuts.

Pemilik gedung, kata dia, melihat keberadaan mereka sebagai prestise. Jadi, tanpa diminta mereka menyediakan space yang paling strategis. Kalau perlu, sewanya murah. "Kita yang mau bayar sesuai tarif justru ditolak-tolak. Jadi, kalau Starbucks ramai itu bukan hal yang aneh. Anak kecil juga bisa," kata ketua DPP Asosiasi Pedagang Mie dan Bakso (Apmiso) ini geram. (el)